Go-Jek yang mulai dirundung masalah

Go-Jek yang mulai dirundung masalah

Jasa antar barang (kurir), layanan baru Go-Jek selain Go-Jek Food.

Jakarta (Otolovers) - Dimulai dengan lusinan success stories dan menjadi buah bibir puji-pujian, Go-Jek sang pionir aplikasi dan layanan ojek online kini mulai dirundung masalah.

Bermula dari persoalan legalitas--izin sebagai angkutan umum--, kemudian persinggungan dengan para pengemudi ojek konvensional, Go-Jek sekarang menghadapi tuntutan dari para driver-nya yang memprotes sanksi suspend.

Meski tetap harus diakui, Go-Jek yang didirikan oleh jebolan Harvard University Nadiem Makarim, telah mendesain model bisnis yang brilian, dengan hanya menggunakan aplikasi, perusahaan yang kemudian disebut PT Go-Jek Indonesia itu mampu menggandeng ribuan pengemudi ojek.

Dengan "mantra" ampuh publikasi dan cerita dari mulut ke mulut mengenai kisah sukses sejumlah driver-nya, Go-Jek telah menjadi magnet bagi banyak pengemudi ojek bahkan karyawan perusahaan untuk bergabung menjadi driver-nya.

Sejak awal, Otolovers sudah menyangsikan mengenai kisah-kisah sukses pengemudi Go-Jek yang berpenghasilan hingga Rp8 juta per bulan, sementara tarif yang dikenakan sangat lah murah terlebih ketika masa promo--banyak penumpang tidak mengeluarkan uang karena memanfaatkan bonus dan promo.

Meskipun barangkali kisah sukses itu benar, Otolovers sampai sekarang masih konsisten menyangsikannya, karena dengan tarif yang sangat murah waktu itu, berapa kilometer dalam sehari seorang driver Go-Jek harus berkendara mengantarkan penumpang untuk bisa mendapatkan hasil Rp8 juta per bulan.

Jika dihitung, untuk Rp8 juta sebulan, seorang pengemudi Go-Jek harus bisa mendapatkan sekitar Rp266.500 sehari dan tanpa ada libur sehari pun selama sebulan (30 hari). Itu artinya, ia harus berkendara secara kumulatif mengantarkan penumpang menempuh perjalanan hingga 66,625 km karena tarifnya Rp4.000 per km.

Secara logika, dengan menempuh perjalanan sepanjang itu dalam sehari, seorang pengemudi Go-Jek tentu sudah kecapekan. Lalu apakah itu tidak membahayakan para penumpangnya, karena kecapekan?

Oke lah, jika ini dibantah dengan dalih bonus dari Go-Jek, lalu berapa besar bonusnya? Dan dari mana Go-Jek mendapatkan uang untuk membayar bonus-bonus bagi pengemudi? Apakah ada investasi besar di sana? Itu masih menjadi pertanyaan besar.

Itu lah kenapa Otoloves melihat apa yang dilakukan Go-Jek adalah bisnis yang riskan, meskipun mereka terbukti sudah mengembangkannya ke layanan lain yakni pesan antar, bahkan layanan kurir untuk perdagangan online. Kecuali tarifnya kemudian akan dinaikkan ke tingkat yang lebih realistis (mungkin sudah naik juga), mungkin akan bertahan, meski harus mengorbankan citra murahnya.

Itu sekelumit mengenai gambaran prospek Go-Jek ke depan barangkali, tapi yang pasti sekarang Go-Jek sedang menghadapi gugatan para driver-nya di sejumlah wilayah seperti Bandung, Jawa Barat, dan di Bali.

Si jebolan Harvard Nadiem Makarim yang cerdas, kini justru dikelabui oleh para awak Go-Jek sendiri dengan membuat order fiktif demi mendapatkan subsidi. Go-Jek Indonesia pun memutuskan untuk men-suspend para driver yang ketahuan membuat order fiktif dan mengenakan denda.

Sanksi itu pun mengundang reaksi dari ribuan driver Go-Jek di Bandung dan Bali, dan sampai sekarang belum kunjung selesai.

Tapi, bagaimanapun dari sisi pengguna jasa transportasi, Go-Jek sangatlah membantu dan menjadi alternatif jitu di tengah kota besar yang sibuk dan kemacetan lalu lintas yang menyebalkan.

Otolovers, kita tunggu saja bagaimana nasib Go-Jek selanjutnya?

COPYRIGHT © Otolovers.com 2015

Komentar